Himalayapost.id – Sebuah kapal kargo berbendera Singapura, milik Grace Ocean Pte Ltd, menarik perhatian setelah menabrak Jembatan Francis Scott di Baltimore, Amerika Serikat, pekan lalu.
Insiden ini berpotensi menimbulkan tuntutan hukum terhadap pihak kapal karena kerusakan yang terjadi pada jembatan tersebut. Namun, sejumlah pihak memperkirakan bahwa akan sulit untuk meminta ganti rugi secara penuh dari pihak kapal.
Menurut undang-undang AS yang mengatur navigasi dan pelayaran di perairan terbuka, keputusan terkait ganti rugi akan diambil melalui pengadilan dan Kongres. Sebuah putusan Mahkamah Agung AS tahun 1927 menafsirkan bahwa kerugian ekonomi murni akibat insiden maritim tidak dapat ditanggung oleh pemilik dan operator kapal.
Hal ini membuat kapal berbendera Singapura, manajernya, serta penyewanya, secara tidak langsung dilindungi oleh hukum.
Direktur Pusat Hukum Maritim di Fakultas Hukum Universitas Tulane menjelaskan bahwa kerugian ekonomi dan bisnis yang bergantung pada jembatan tersebut tidak akan bisa pulih melalui tuntutan hukum.
“Tuntutan hukum akan terbatas pada cedera, kematian, dan kerusakan atau kerugian harta benda,” katanya. Bagi mereka yang mengalami kerugian ekonomi, kemungkinan bisa mendapat kompensasi dari kebijakan asuransi, yang bisa mencapai klaim miliaran dolar.
Berbeda dengan ganti rugi korban jiwa, di mana korban bisa menuntut kapal dan menjualnya untuk memenuhi gugatan mereka. Namun, tuntutan ini bersifat terbatas. Kapal bisa mengajukan petisi melalui undang-undang tahun 1851 yang membatasi tanggung jawab pemilik kapal, yang membuat mereka bergantung pada asuransi untuk mempertanggungjawabkan kerusakan.
Insiden pada 26 Maret itu menyebabkan jembatan runtuh sekitar pukul 01.00 waktu setempat, dengan delapan orang dilaporkan terjebak dalam sungai. Dua orang berhasil diselamatkan, sementara enam lainnya tewas. (Ly)