Himalayapost.id, Opini- Agustiawarman biasa disapa Pak Agus (44), seorang pedagang gorengan yang biasa mangkal di tepi jalan Jorong Pasar Baru, tepatnya di seberang Toko Arosuka Bintang Utama, Nagari Koto Gadang Guguk, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok.
Aneka gorengan ia jual, mulai dari bakwan, pisang goreng, dage, molen dan sejenisnya. Menurut masyarakat, gorengan Pak Agus enak dan murah, hampir setiap hari selalu ramai dikunjungi pembeli.
Pak Agus, ketika orang-orang masih terlelap di tempat tidurnya, ia sudah sibuk menyiapkan apa-apa saja yang diperlukan untuk gorengannya. Ia kadang dibantu sang istri dan anak-anak tercinta.
“Terkadang saya berjualan dibantu oleh anak-anak dan istri, istri saya hanya membantu seadanya saja. Saya kasihan, dia membersihkan rumah serta anak-anak, jadi tak bisa tiap hari membantu. Sekarang istri dan anak hanya membantu masang tenda. Sementara untuk bongkar, jika sudah selesai saya lakukan sendiri,” ujar Pak Agus kepada Himalayapost.
Ketika ditanya berapa omzet hariannya, ia mengaku tidak pernah menghitungnya. Sehingga dirinya tidak pernah tahu berapa persis keuntungan yang ia dapat setiap harinya. Yang ia tahu, hanya jika sudah dihitung bulanan.
“Kalau harian saya tidak tahu berapa persisnya, tapi kalau bulanan sekitar lebih satu setengah juta,” katanya.
Pak Agus membeberkan, nilai tersebut baru penghasilan kotornya. Jika dihitung secara bersih tentu saja banyak berkurang. Jujur ia katakan, penghasilan sebesar itu masih belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Awal mula menekuni sebagai penjual gorengan.
Pak Agus bercerita, awal mulanya dirinya tidak memiliki niat untuk berjualan gorengan. Sebelum menekuni profesi ini, ia telah melakukan beberapa macam jenis pekerjaan. Mulai dari sopir, hingga bekerja di Rumah Makan Pondok Salero.
Menjadi sopir merupakan pekerjaan pertamanya saat di Solok. Pekerjaan itu dilakoninya selama beberapa tahun. Namun karena rutinitas kerja yang terlalu melelahkan ia memutuskan untuk berhenti.
“Terlalu beresiko kalau harus jadi sopir, pergi malam pulang pagi, terus pagi berangkat lagi, ya cape saya,” ujarnya. Apalagi katanya, penghasilannya hanya 200 ribu per bulan kala itu. Tentu tidak sebanding dengan resiko yang diterimanya.
Sejak menikah dengan istrinya, ia mulai menetap tinggal di Guguk, karena sang istri merupakan warga asli Guguk. Pak Agus mencoba beberapa pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan ia dan keluarga, walau pun bukan pekerjaan tetap.
Pekerjaan demi pekerjaan ia lakoni, hingga kebutuhan harian tak bisa lagi dicukupi. Di situlah Pak Agus coba-coba menekuni pekerjaan sebagai penjual gorengan. Karena dirasa cukup menguntungkan, sampai sekarang ia bersama istrinya bekerja tetap sebagai penjual gorengan.
Kini, tawaran sebagai sopir atau pun bekerja di rumah makan ia tolaknya. “Menjadi sopir resikonya nyawa tapi hasilnya tidak seberapa, lebih baik kaya gini saja, cuma duduk sambil menggoreng, resikonya paling kompor meledak,” kata Pak Agus diiringi tawa.
Lebih lanjut diceritakan Pak Agus, modal usaha yang digunakan ia dapat dari pinjaman kredit sebanyak Rp2 juta. Pak Agus awalnya berjualan menggunakan payung, tapi berkat kesabaran dan konsistensinya, sekarang sudah pakai gerobak.
“Alasannya agar tidak perlu repot-repot lagi bongkar pasang tenda. Keinginan saya membuka cabang lagi di lain tempat. Beberapa waktu lalu sempat terbesit niatan itu, namun rencana ini juga tak sampai terlaksana. Masalah modal pula yang manjadi kendala. Jika benar-benar membuka lagi, harus menyediakan gerobak dan tempat lagi,” bebernya.
“Apalagi harga gerobak sekarang sudah sangat mahal, satu gerobaknya sekitar Rp2,5 juta. Itulah keinginan ini juga tak bisa terlaksana. Kecuali ada orang yang berbaik hati memberi pinjaman modal atau gerobak bekas, mungkin dalam beberapa waktu ke depan benar-benar akan direalisasikannya rencana itu,” terusnya.
Suka duka Pak Agus sebagai penjual gorengan.
Suka duka menjadi penjual gorengan tentu saja ada. Namun Pak Agus mengaku tidak pernah sampai diganggu atau dipalak preman. “Kendalanya bersifat musiman, kadang-kadang kalau sepi pembeli ya sepi sekali, kalau lagi ramai ya ramai,” tutur Pak Agus.
Pak Agus juga tak jarang meliburkan dirinya. Penyebabnya yaitu hujan, keperluan keluarga dan lain-lain. Karena ia dan istri yang mengatur pola kerjanya, terserah kapan libur dan kapan bekerjanya.
Dampak kenaikan bahan pokok terhadap ekonomi Pak Agus.
Harga barang pokok mahal turut pula dirasakan Pak Agus sebagai pelaku usaha mikro kecil menengah. Walau tak sepenuhnya berdampak langsung, ia mengaku harus bekerja ekstra jika ingin memperoleh keuntungan lebih.
Anak Pak Agus ada dua. Ia katakan, pendidikan anak adalah prioritas utamanya sehingga harus mengeluarkan uang lebih untuk bisa memperoleh pendidikan sebagaimana mestinya.
Seringkali ia mengalami kesulitan untuk membiayai kedua anaknya sekaligus. Terutama jika menjelang akhir semester atau awal ajaran baru. Diakuinya, biaya anaknya yang kecil saja sudah mencapai hampir puluhan ribu rupiah perharinya.
Sejak harga minyak goreng naik, Pak Agus merasa makin susah mencari nafkah. Karena apa-apa ikut-ikutan mahal.
“Yang paling dirasakan mahalnya adalah harga minyak tanah. Dulu menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar utama. Harganya mahal dan semakin susah ditemukan, terus konversi ke gas. Namun ketika dicoba di gerobak, ukuran kompor tidak muat sehingga terpaksa dianggurkan,” bebernya lagi.
Kesulitan yang dihadapi oleh seorang pedagang kecil seperti Pak Agus nampaknya perlu ditanggapi serius oleh pemerintah. Meski begitu, Pak Agus tak pernah putus asa menghadapi semua pasang surutnya sebagai pelaku usaha mikro kecil menengah. Menurutnya, dalam hidup harus terus berusaha, tidak boleh menghindari kesulitan, tapi harus dihadapi.
Di luar sana masih banyak Pak Agus lain yang merasakan kesulitan yang sama. Di saat kita nampaknya lebih suka berfoya-foya, masih ada saudara kita yang berjuang lebih untuk memenuhi haknya. Dari mereka, tampaknya kita bisa belajar untuk apa sebenarnya hidup. Peduli, saling menolong dan kerja keras. (RS)