Himalayapost.id – China tengah berupaya untuk mengurangi ketergantungannya pada teknologi asing, terutama di bidang chip semikonduktor.
Chip adalah komponen penting yang digunakan di berbagai perangkat elektronik, seperti ponsel, komputer, dan server. China merupakan pasar chip terbesar di dunia, namun sebagian besar chip yang digunakan di China masih diimpor dari negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), Taiwan, dan Korea Selatan.
AS telah memberlakukan sanksi-sanksi yang membatasi akses China ke teknologi chip AS, dengan alasan keamanan nasional dan pelanggaran hak paten. Sanksi-sanksi ini telah mempengaruhi perusahaan-perusahaan teknologi China, seperti Huawei, yang kesulitan mendapatkan pasokan chip untuk produk-produknya.
Huawei sendiri merupakan salah satu produsen ponsel terbesar di dunia, yang juga mengembangkan chip sendiri melalui divisi HiSilicon.
Untuk mengatasi tantangan ini, China telah berinvestasi besar-besaran untuk meningkatkan kemampuan produksi dan desain chip dalam negeri. Salah satu perusahaan yang menjadi andalan China adalah Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC), yang merupakan produsen chip terbesar di China.
SMIC telah berhasil membuat chip 7 nanometer (nm) yang disebut N+2, yang diklaim setara dengan chip 8 nm buatan Samsung dan lebih baik dari chip 10 nm buatan Intel.
Chip 7 nm merupakan chip canggih yang memiliki ukuran transistor sangat kecil, sehingga dapat menampung lebih banyak transistor dalam satu chip.
Hal ini membuat chip menjadi lebih cepat, hemat energi, dan efisien. Chip 7 nm juga mendukung teknologi kecerdasan buatan (AI) dan jaringan seluler generasi kelima (5G), yang merupakan tren masa depan di industri teknologi.
SMIC telah menggunakan chip N+2 untuk ponsel Huawei Mate 60 Pro, yang diluncurkan pada September 2023 lalu. Ponsel ini menggunakan chipset Kirin 9000s, yang dirancang oleh Huawei bersama SMIC.
Kirin 9000s memiliki CPU delapan inti, GPU Mali-G78 MP24, dan unit pemrosesan neural (NPU) untuk AI. Kirin 9000s juga mendukung konektivitas 5G dengan modem Balong 5000.
Penggunaan chip N+2 oleh Huawei menimbulkan reaksi dari AS, yang mencurigai bahwa chip tersebut menggunakan teknologi AS tanpa izin. AS telah melarang perusahaan-perusahaan di dunia untuk menggunakan peralatan AS untuk memproduksi chip bagi Huawei, termasuk mesin extreme ultraviolet lithography (EUV) yang dibutuhkan untuk membuat chip 7 nm atau lebih canggih. Mesin EUV ini diproduksi oleh perusahaan Belanda ASML, yang juga dilarang menjualnya ke China.
Anggota DPR AS Mike Gallagher menyerukan agar pemerintah AS memutus semua ekspor teknologi ke Huawei dan SMIC, untuk menegaskan bahwa pelanggaran hukum AS dan ancaman keamanan nasional tidak akan ditoleransi.
Gallagher juga meminta agar pemerintah AS meningkatkan dukungan terhadap sekutu-sekutunya, seperti Taiwan dan Korea Selatan, yang memiliki industri chip yang kuat.
Sementara itu, China tidak tinggal diam dan terus berusaha untuk membuat chip yang lebih baik lagi. Perusahaan AI asal China HKUST Xunfei mengklaim bahwa Huawei telah memiliki GPU AI yang setara dengan A100 buatan Nvidia, yang merupakan salah satu GPU AI terbaik di dunia.
GPU AI ini dapat menjalankan model bahasa besar (LLM) seperti GPT-3 dan GPT-4 dengan performa tinggi. HKUST Xunfei juga berencana untuk meluncurkan LLM serba guna baru pada Oktober 2023 mendatang.
Dengan perkembangan ini, China berharap dapat mengurangi ketergantungan pada impor chip dan meningkatkan daya saing produk-produk teknologi dalam negeri.
China juga ingin menunjukkan bahwa negaranya mampu membuat inovasi-inovasi di bidang chip dan AI, yang merupakan sektor strategis bagi masa depan ekonomi dan militer. (Ly)