Himalayapost.id – Madagaskar adalah sebuah negara pulau yang terletak di Samudra Hindia, sebelah timur benua Afrika. Negara ini memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang luar biasa, termasuk spesies endemik seperti lemur, baobab, dan orkid.
Namun, tidak hanya itu yang membuat Madagaskar menarik. Negara ini juga memiliki budaya yang kaya dan beragam, salah satunya adalah tradisi Famadihana.
Famadihana adalah ritual pemakaman yang dilakukan oleh beberapa kelompok etnis di Madagaskar, terutama suku Merina yang mendominasi wilayah dataran tinggi.
Famadihana berarti “pembalikan tulang” dalam bahasa Malagasi. Ritual ini dilakukan dengan mengeluarkan jasad leluhur dari makam keluarga, membungkusnya kembali dengan kain suci yang baru, dan menulis ulang nama mereka pada kain tersebut agar selalu diingat.
Kemudian, para pelayat menari dengan mengangkat jasad di atas kepala mereka dan berkeliling makam sebelum mengembalikan jasad ke makam keluarga.
Famadihana bukanlah tradisi yang sudah ada sejak lama. Menurut sejarah, ritual ini baru muncul sekitar abad ke-17, mungkin sebagai adaptasi dari upacara pemakaman ganda yang berasal dari Asia Tenggara dan Oseania.
Upacara ini didasarkan pada kepercayaan bahwa roh-roh orang yang telah meninggal akan bergabung dengan dunia para leluhur setelah tubuh mereka terurai sepenuhnya dan mendapatkan upacara yang layak, yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Di Madagaskar, ritual ini biasanya dilakukan setiap lima hingga tujuh tahun sekali, dan menjadi ajang berkumpulnya keluarga besar dalam suasana penuh keakraban¹².
Famadihana bukanlah sekadar tradisi untuk mengenang orang-orang yang telah tiada. Bagi orang Malagasi, ritual ini juga memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Mereka percaya bahwa leluhur mereka berfungsi sebagai perantara antara manusia dan Tuhan serta memiliki kekuatan untuk campur tangan dalam peristiwa di bumi.
Dengan melakukan Famadihana, mereka berharap mendapatkan berkah, perlindungan, dan petunjuk dari para leluhur.
Selain itu, ritual ini juga menjadi sarana untuk mempererat hubungan antara anggota keluarga, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Mereka menganggap bahwa jasad leluhur masih merupakan bagian dari keluarga dan harus diperlakukan dengan hormat dan kasih sayang.
Namun, tradisi Famadihana saat ini menghadapi beberapa tantangan. Salah satunya adalah biaya yang mahal untuk membeli kain kafan sutra yang digunakan untuk melapisi jasad.
Kain ini harus dibeli dari pedagang asing dengan harga tinggi. Selain itu, tradisi ini juga mendapat penolakan dari beberapa kelompok agama, terutama Kristen Evangelis, yang menganggap bahwa Famadihana bertentangan dengan ajaran iman mereka.
Gereja Katolik sendiri tidak lagi keberatan dengan tradisi ini, karena menganggapnya sebagai budaya murni tanpa unsur religius.
Ada juga masalah kesehatan yang timbul akibat kontak dengan jasad yang mungkin membawa penyakit menular seperti pes.
Pemerintah Madagaskar telah mengeluarkan larangan untuk melakukan Famadihana bagi orang-orang yang meninggal karena pes, tetapi ada laporan bahwa larangan ini sering diabaikan.
Meskipun demikian, masih banyak orang Malagasi yang tetap menjalankan tradisi Famadihana dengan penuh semangat dan rasa hormat.
Mereka percaya bahwa ritual ini adalah cara mereka untuk menghargai para leluhur dan merayakan kehidupan mereka.
Mereka juga berharap bahwa dengan melakukan Famadihana, mereka akan mendapatkan visi dan penyembuhan dari para leluhur.
Famadihana adalah salah satu contoh budaya unik dan penuh makna di dunia. Tradisi ini menunjukkan bagaimana orang Malagasi menjaga hubungan mereka dengan para leluhur dan keluarga mereka.
Famadihana juga menggambarkan kekayaan dan keberagaman budaya yang ada di Madagaskar, sebuah negara yang layak untuk dikunjungi dan dipelajari. (Ly)