Himalayapost.id – Pemerintah India telah mengumumkan penerapan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang kontroversial pada Senin, 11 Maret 2024. Undang-undang ini, yang disahkan pada tahun 2019, memungkinkan individu dari komunitas Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi, dan Kristen dari Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh untuk mengajukan permohonan kewarganegaraan India. Namun, undang-undang ini tidak mencakup umat Islam, yang telah menimbulkan kekhawatiran dan protes di seluruh negeri.
Menurut laporan dari Antara, pengajuan kewarganegaraan dapat dilakukan secara online melalui situs yang telah disediakan oleh pemerintah. Penerapan CAA ini terjadi beberapa minggu menjelang pemilihan umum, di mana Perdana Menteri Narendra Modi mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga.
Ketua menteri Negara Bagian Benggala Barat, Mamata Banerjee, telah menyatakan penentangan terhadap undang-undang ini, menganggapnya sebagai perampasan hak masyarakat dan hanya sebagai publisitas pemilu.
Sejak disahkannya CAA pada tahun 2019, telah terjadi gelombang protes yang melibatkan Mahkamah Agung India, dengan petisi yang menentang undang-undang tersebut masih menunggu keputusan hingga saat ini.
Kritikus mengatakan bahwa CAA, bersama dengan Daftar Nasional Warga Negara India (NRC), berpotensi mendiskriminasi 200 juta umat muslim di India. Kekhawatiran ini diperparah oleh fakta bahwa banyak warga miskin di India tidak memiliki dokumen yang diperlukan untuk membuktikan kewarganegaraan mereka.
Pemerintah India, bagaimanapun, berpendapat bahwa undang-undang ini diperlukan untuk melindungi kelompok minoritas yang dianiaya atas dasar agama di negara-negara tetangga. Menteri Dalam Negeri India, Amit Shah, menyatakan bahwa CAA memungkinkan kelompok minoritas tersebut untuk memperoleh kewarganegaraan di India.
Dengan penerapan CAA yang akan segera berlaku, India berada di persimpangan jalan antara keamanan nasional dan hak asasi manusia, di mana hasilnya akan sangat mempengaruhi masa depan demokrasi terbesar di dunia ini. (Ly)