Himalayapost.id – Thailand, negara yang pernah dijuluki sebagai kekuatan ekonomi regional, kini menghadapi tantangan yang dapat membahayakan stabilitas finansial dan politiknya. Perekonomian Thailand mengalami kontraksi yang lebih dalam dari yang diperkirakan dan pertumbuhan yang melambat akibat dampak pandemi COVID-19, terutama pada sektor pariwisata yang menjadi andalan negara tersebut.
Menurut laporan Dewan Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional (NESDC), produk domestik bruto (PDB) Thailand turun 6,1 persen pada tahun 2020, kontraksi terbesar sejak krisis finansial Asia. Pada kuartal IV-2023, PDB hanya tumbuh 1,5 persen, jauh di bawah perkiraan 2,4 persen. NESDC juga menurunkan proyeksi pertumbuhan untuk tahun 2024 menjadi 2,5 persen, di ujung bawah rentang awal.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan perlambatan ekonomi Thailand adalah penurunan drastis arus wisatawan asing, yang biasanya menyumbang sekitar seperlima dari PDB dan 20 persen dari lapangan kerja. Pandemi COVID-19 telah memaksa penutupan perbatasan dan pembatasan perjalanan, yang berdampak besar pada industri pariwisata Thailand. Selain itu, lemahnya permintaan global juga berpengaruh pada ekspor Thailand, yang turun 3,1 persen pada kuartal III-2023.
Pemerintah Thailand telah berupaya untuk mengatasi krisis dengan mengeluarkan paket stimulus fiskal, moneter, dan keuangan untuk meredam dampak virus pada negara tersebut. Namun, langkah-langkah ini tampaknya belum cukup efektif untuk mendorong pemulihan yang kuat dan berkelanjutan. Beberapa tantangan yang dihadapi pemerintah antara lain adalah tingginya utang rumah tangga, yang mencapai 91 persen dari PDB, rendahnya belanja publik, dan ketidakpastian kebijakan moneter.
Perdana Menteri Srettha Thavisin, yang menjabat sejak akhir Agustus 2023, menghadapi kritik dari berbagai pihak atas kebijakan-kebijakannya, terutama rencana untuk memberikan bantuan tunai sebesar 10.000 baht (sekitar Rp 4,2 juta) kepada hampir setiap warga Thailand melalui dompet digital. Rencana ini menuai kontroversi karena dianggap melanggar Undang-Undang Disiplin Keuangan dan menambah beban utang pemerintah. Selain itu, Srettha juga berselisih dengan Gubernur Bank of Thailand (BOT) Sethaput Suthiwartnarueput, yang menolak untuk menurunkan suku bunga acuan meskipun inflasi rendah.
Srettha mengatakan bahwa ia bertujuan untuk mencapai pertumbuhan 5 persen selama masa jabatannya dan mengklaim bahwa perekonomian Thailand tidak sedang dalam krisis seperti yang digambarkan oleh media. Ia juga mengumumkan beberapa langkah untuk meningkatkan pertumbuhan, seperti memberlakukan kebijakan bebas visa untuk menarik wisatawan asing, memberikan insentif pajak untuk mendorong investasi asing, dan meningkatkan pengembangan infrastruktur digital.
Namun, para analis dan pengamat menilai bahwa langkah-langkah ini belum cukup untuk mengatasi masalah struktural yang dihadapi Thailand, seperti ketimpangan sosial, korupsi, birokrasi, dan kurangnya inovasi. Mereka juga menyoroti perlunya reformasi politik untuk mengakhiri siklus kudeta dan protes yang telah mengganggu stabilitas Thailand selama beberapa dekade terakhir.
Dengan demikian, Thailand berada pada titik kritis, menghadapi konvergensi tantangan ekonomi dan ketidakpastian politik. Untuk keluar dari krisis, Thailand membutuhkan strategi jangka panjang yang dapat meningkatkan daya saing, produktivitas, dan inklusivitas ekonominya, serta memperkuat demokrasi, supremasi hukum, dan partisipasi masyarakatnya. (Ly)