Himalayapost.id – Konflik antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Ukraina, yang merdeka dari Uni Soviet pada 1991, merasa terancam oleh ambisi ekspansionis Rusia yang ingin menguasai wilayah-wilayah strategis di Eropa Timur. Salah satu wilayah yang menjadi sasaran Rusia adalah Krimea, semenanjung di Laut Hitam yang memiliki pangkalan militer Rusia.
Pada Februari 2022, Rusia melancarkan invasi ke Ukraina dengan alasan mempertahankan diri dari ancaman Ukraina modern.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengklaim bahwa Rusia tidak bisa merasa aman, berkembang, dan eksis dengan ancaman konstan yang berasal dari wilayah Ukraina modern.
Invasi ini menimbulkan reaksi keras dari komunitas internasional, terutama negara-negara Barat yang mendukung kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina.
Sejak invasi itu, kedua negara terlibat dalam pertempuran sengit di berbagai wilayah perbatasan. Rusia menggunakan kekuatan udara dan rudal untuk menyerang posisi-posisi militer dan sipil Ukraina.
Ukraina berusaha mempertahankan diri dengan bantuan senjata dan peralatan militer dari sekutu-sekutunya, seperti Amerika Serikat dan NATO. Salah satu senjata yang dikirimkan ke Ukraina adalah jet tempur F-16, yang diharapkan bisa menandingi kekuatan udara Rusia.
Namun, Putin mengesampingkan pengiriman F-16 itu dan mengatakan bahwa itu hanya akan memperpanjang konflik. Ia juga mengancam akan menggunakan senjata nuklir jika Ukraina atau sekutu-sekutunya mencoba mengambil alih Krimea atau wilayah-wilayah lain yang diduduki oleh Rusia.
Putin menyebut bahwa konflik dengan Ukraina merupakan batu loncatan untuk masalah yang lebih besar di Eropa.
Di tengah eskalasi kekerasan ini, Ukraina mulai merasa lelah dan frustrasi. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan bahwa ia ingin mencari solusi damai untuk mengakhiri konflik dengan Rusia.
Ia juga meminta bantuan dari PBB dan negara-negara Eropa untuk menekan Rusia agar menghentikan agresinya. Zelensky mengatakan bahwa Ukraina tidak ingin menjadi korban dari permainan geopolitik Rusia.
Sementara itu, rakyat Ukraina juga mengalami dampak negatif dari konflik ini. Selain korban jiwa dan luka-luka, mereka juga menghadapi krisis kemanusiaan, ekonomi, dan sosial.
Banyak warga yang terpaksa mengungsi dari rumah mereka karena serangan-serangan Rusia. Mereka juga kesulitan mendapatkan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan lainnya. Selain itu, mereka juga harus menghadapi ancaman infeksi Covid-19, yang masih melanda dunia.
Konflik Rusia-Ukraina menjadi salah satu krisis terbesar di dunia saat ini. Konflik ini tidak hanya berdampak pada kedua negara yang bertikai, tetapi juga pada stabilitas dan keamanan regional dan global. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari semua pihak untuk mencari jalan keluar dari konflik ini sebelum terlambat. (Ly)